TARI REJANG ILUD


Pengkajian tentang perkembangan seni klasik di Bali tentunya tidak lepas dari Kabupaten Gianyar. Bali secara umum mempunyai banyak sekali sentra-sentra seni klasik. Namun ikon wilayah seni di Bali sejak tahun 1970-an telah melekat di Kabupaten Gianyar. Bali pada tahun 1970-an telah mengembangkan pariwisata berbasis budaya Bali. Sejak itulah wisatawan mulai mengenal kekayaan seni dari Kabupaten Gianyar. Perkembangan selanjutnya menunjukkan kabupaten ini memantapkan statusnya sebagai Kota Seni pada awal tahun 1990-an.
Gianyar dengan ikon kota seni tentunya mempunyai banyak kekayaan seni baik klasik maupun seni kontemporer. Banyaknya seni yang berkembang dalam suatu kawasan wisata tentunya berdampak pada timbul tenggelamnya bentuk seni sesuai keinginan wisatawan. Timbul  tenggelamnya seni ini juga sangat dipengaruhi oleh aspek estetis yang berkembang dalam diri manusia.
Globalisasi bukan hanya membangkitkan kesadaran global di antara manusia pada seluruh wilayah di dunia. Namun juga kesadaran akan jati diri aslinya dengan tujuan globalisasi tidak menempatkannya dalam hierarki sosial pada tatanan dunia baru hasil bentukan globalisasi. Karena itulah manusia di berbagai wilayah berusaha mencari jati dirinya melalui berbagai bentuk ide, prilaku dan materi yang ada sebelum adanya arus globalisasi. Salah satunya adalah menggali budaya masa lalu khususnya pada aspek seni. Melalui seni kita akan dapat melihat bagaimana jati diri dari suatu kelompok masyarakat, karena kita dapat mengetahui bagaimana kondisi spiritualitas dan dunia ide yang berkembang pada kehidupan masyarakat saat itu. Seni ini merupakan salah satu unsur pembentuk kebudayaan, sehingga bagaimana kondisi masyarakat dan kebudayaan masyarakat dapat kita lihat dari keberadaan seni yang berkembang di daerah setempat.
seiring  dengan perkembangan zaman, masyarakat seolah-olah mengalami kebingungan dan ketidaktahuan akan jati diri mereka, karena  kecenderungan masyarakat di era globalisasi adalah kehidupan yang bersifat praktis, hedonis, dan ekonomis sehingga karena kesibukan untuk mencapai kepuasannya itulah masyarakat mulai meninggalkan/ tenggelamnya kesenian mereka, yang berimplikasi pada memudarnya jati diri masyarakat tersebut, dan burukya lagi bisa saja akan kehilangan jati dirinya.
Fenomena tenggelamnya seni karena perkembangan faktor estetis manusia juga terjadi di Desa Buahan KecamatanPayangan. Dahulu di desa ini berkembang Tari Rejang Ilud yang merupakan tari sakral pengiring berbagai upacara Umat Hindu di sana. Namun tari ini selama hampir 15 tahun terkhir tergantikan oleh Tari Rejanag Dewa seperti umumnya Tari Rejang yang ada di Bali ini. Tari rejang merupakan tari yang umum ditarikan pada setiap upacara suci umat Hindu di Bali. Lontar Usana Bali menyebutkan rejang adalah simbol widyadari yang turun dari kahyangan ke mayapada/ dunia untuk menuntun Ida Bhatara pada waktu melasti atau tedun ke Peselang. Menurut Usana Bali diceritakan bahwa ketika Bhatara Indra berhasil menewaskan raja Bali Aga yang bernama Mayadenawa dalam peperangan, maka para dewa berkumpul semuanya di Manukraya menghadap Bhatara Indra. Pada waktu itu Bhatara Indra mendirikan empat buah kahyangan yang berada di Kedisan, Tihingan, Manukraya, dan keluhuran. Setelah selesai mengadakan pembangunan, para dewa mengadakan keramaian di Manukraya yaitu para Widyadari menari rejang, widyadara menari baris, para Gendarwa menjadi tukang tabuh, tukang suling, rebab dan selonding. Semenjak itulah kalau ada odalan atau karya di Pura harus mengadakan ilen-ilen/ pementasan rejang, baris gede, dan pendet. Dari sekian banyak jenis tari rejang di Bali, Rejang Ilud di Desa Buahan, Payangan, Gianyar merupakan salah satu dari beragam bentuk dan jenis rejang yang ada. Keberadaan Rejang Ilud yang berkembang di Desa Buahan ini mempunyai keunikan yang tidak ditemukan di berbagai wilayah di Bali.
Ada dua hal menarik yang membuat Tari Rejang Ilud berbeda dengan tari rejang lainnya di Bali. Tari ini memiliki gerakan unik yaitu ngilud. Gerakan ngilud merupakan gerakan telapak tangan yang seolah menggenggam sesuatu dan digerakkan dengan arah dari dalam ke luar. Gerakan tari rejang umumnya adalah ngayab dengan membuka telapak tangan yang mengibas pada arah tertentu. Gerakan ngayab pada Tari Rejang Ilud juga ada. Keberadaan gerakan ngilut itu dapat kita identikkan dengan bodhyagiri mudrā yaitu sikap tangan menggenggam sesuatu. Gerakan mudra tersebut memiliki makna keteguhan pengetahuan/ kesadaran. Gerakan ngilut itu dapat kita asumsikan sebagai simbol pemusatan kekuatan Ida Sang Hyang Widhi dalam menurunkan anugrah yang disimbolkan pada gerakan ngayab yang disebut vara mudrā (gerakan memberikan anugrah) dan menghaturkan persembahan. Keunikan yang lain adalah pada musik pengiring (tabuh). Tari yang berkembang di Bali umumnya pada setiap gerakannya mengikuti irama tabuh, namun pada Tari Rejang Ilud berlaku hal yang sebaliknya.
Makna simbolik yang terkandung dalam Tari Rejang Ilud secara umum tidak berbeda dengan tari rejang lainnya. Namun adanya gerakan ngilud makin menguatkan peran wanita sebagai sakti dalam kehidupan manusia. Wanita bukan hanya mampu memberikan persembahan bagi kesucian sebuah wilayah yang tercermin dari gerakan ngayab, namun wanita juga dapat bertindak tegas mengusir atau menghalau berbagai bahaya dan bencana dengan kekuatannya sebagai sakti, yang ditunjukkan dengan adanya kombinasi gerakan ngayab dan gerakan berkacak pinggang serta meluruskan tangannya yang disebut dengan abhāya mudrā (gerakan menolak bahaya).
Tiada duanya Tari Rejang Ilud ini membuat tari ini berperan strategis dalam mengangkat harkat dan martabat masyarakat Desa Buahan di era globalisasi. Peran strategis lainnya adalah pada aspek edukasi. Tari ini dapat digunakan sebagai media pembelajaran bagi wanita akan perannya sebagai sakti. Bila perempuan sadar peran maka masa percepatan masa kehancuran (kaliyuga) dapat dihambat atau bahkan dapat diperbaiki. Karena Hindu sendiri mengajarkan bahwa hancurnya dunia ini sangat ditentukan oleh kaum sakti itu.  

untuk mengetahui filosofi gerakan Tari Rejang Ilud,  klik DISINI

by: Kader Pelestari Budaya 

Post a Comment

0 Comments