IRONI SEPAK BOLA INGGRIS

Ditulis oleh: Dominico Zekhonya

Segala sesuatu yang berkaitan dengan kematian sering diimplikasikan dengan banyak hal negatif, sedangkan bagi kaum positivis kematian dianggap sebagai jalan menuju kehidupan baru, kehidupan yang lebih baik walaupun kadang bisa lebih buruk, tidak ada yang tahu selain yang pernah melewati fase kematian tersebut. 

8 Mei 2013, Sir Alex Ferguson memutuskan pensiun sebagai manajer Manchester United. Bagi sebagian orang hal tersebut adalah kematian bagi Manchester United dan bukan tidak mungkin Liga Inggris. Tidak bisa dipungkiri bahwa Manchester United merupakan penguasa Liga Inggris sesungguhnya dengan 20 gelar (13 gelar dengan nama Premier League, tujuh gelar lainnya masih dengan format lama Liga Inggris). 

Kemapanan yang diperoleh dari kerja keras di bawah komando Sir Alex selama puluhan tahun menempatkan Manchester United menjadi klub elit nomor satu di Inggris. Kekhawatiran kemudian muncul di benak para fans Manchester United yang mengidolakan United pada era kejayaan di bawah Sir Alex Ferguson. Yusuf Arifin, jurnalis asal Indonesia yang sempat bekerja untuk BBC di London menggambarkan kepergian Sir Alex Ferguson ke  dalam sebuah tulisan. Dalam tulisan tersebut Yusuf Arifin menggambarkan hal tersebut dengan hilangnya sebuah kepastian, kepastian akan janji yang selalu ditagih fans United tiap akhir musim. 

Bagi para positivis mundurnya Sir Alex Ferguson sebagai nahkoda Manchester United merupakan harapan akan sebuah era baru yang muncul dari 'kematian' Manchester United sepeninggal dirinya. Manchester United memang terlalu dominan di Inggris, sejak 1992 United berhasil memenangkan 13 gelar, sisanya Arsenal, Chelsea, Manchester City dan Blackburn Rovers bergantian mencuri kesempatan. Kejengahan rival United dibalas dengan kepongahan khas Manchester yang kita kenal selama ini, yaitu ''Not Arrogant, Just Better''. 

Peluang Manchester United memang tidak bisa dibilang hilang begitu saja, hanya kans mereka memang tidak sebesar biasanya. David Moyes jelas butuh waktu untuk membuktikan bahwa dirinya orang yang tepat ditunjuk sebagai suksesor Sir Alex Ferguson, kontrak berdurasi enam tahun adalah salah satu bentuk pengertian manajemen terhadap proses adaptasi yang diperlukan Moyes. David Moyes sendiri oleh mayoritas rumah taruhan di Inggris ditempatkan sebagai manajer dengan kemungkinan dipecat paling kecil ketiga, setelah Arsene Wenger dan Jose Mourinho. Namun semua kondisi tentu bisa berubah dengan cepat, hal itulah yang harus benar-benar disadari oleh David Moyes.

Era baru Premier League adalah era di mana kesempatan memenangkan gelar liga tidak lagi dimonopoli United. Berarti ada beberapa nama yang mempunyai peluang lebih besar dengan perginya Sir Alex Ferguson.

Sebut saja Chelsea yang dianggap memiliki peluang paling besar dengan kembalinya Jose Mourinho, Arsenal yang didesak untuk mengakhiri paceklik gelar selama delapan musim, Manchester City yang kali ini dibesut oleh Mauricio Pellegrini, Tottenham Hostspurs dan mungkin saja Liverpool. Klub-klub tersebut bersiap menghadapi liga dengan tambahan beberapa amunisi baru, sebut saja Samuel Eto'o dan Willian yang merapat ke Chelsea, Mesut Oezil yang didatangkan di penghujung jendela transfer oleh Arsenal, serta Tottenham Hotspurs yang merekrut cukup banyak pemain baru untuk menambah kekuatan pasca hengkangnya Gareth Bale ke Real Madrid.

Manchester City pun tidak mau kalah, sadar akan kegagalan mereka mempertahankan gelar yang salah satunya disebabkan oleh kesulitan mencetak gol, nama-nama seperti Alvaro Negredo dan Stevan Jovetic didatangkan.

Terlepas dari hingar bingar kepopuleran Premier League terdapat sebuah ironi yang tersamarkan. Kenyataan bahwa pelatih-pelatih asli Inggris justru tersisih dari persaingan memperebutkan tempat teratas di liga.

Dilihat dari konstelasi pelatih klub peserta Premier League musim 2012/ 2013 tercatat hanya seperempat dari total 20 tim yang menggunakan jasa pelatih berkebangsaan Inggris: Sam Allardyce (West Ham United), Alan Pardew (Newcastle United), Harry Redknapp (QPR), Brian McDermott (Reading) dan Nigel Adkins (Southampton). Dari sisi pencapaian pun tidak ada yang istimewa, bahkan bisa dibilang mengecewakan. Nigel Adkins berhenti di tengah kompetisi dan digantikan Mauricio Pochettino, sedangkan Brian McDermott dan Harry Redknapp justru gagal menyelamatkan Reading dan QPR dari jurang degradasi.

Alan Pardew bersama Newcastle United yang sejujurnya dibekali dengan materi pemain cukup baik nyatanya hanya mampu berada di peringkat 16 akhir musim, setelah sepanjang paruh kedua musim berjalan justru bersusah payah menghindari jurang degradasi. Prestasi 'terbaik' justru ditorehkan oleh Sam Allardyce yang membawa West Ham United bertengger di peringkat 10.

Musim 2013/ 2014 ini selain Sam Allardyce dan Alan Pardew ada nama Ian Holloway (Crystal Palace) dan Steve Bruce (Hull City) sebagai manajer asli Inggris di Premier League. Masih terlalu dini untuk menilai kinerja mereka karena liga baru berjalan beberapa pertandingan saja.

Dilihat dari klub papan atas tidak ada satupun nama manajer asli Inggris, bahkan Sir Alex Ferguson yang mendominasi bersama Manchester United berkebangsaan Skotlandia, pun suksesornya David Moyes. Arsenal memiliki Arsene Wenger yang berkebangsaan Prancis, Jose Mourinho (Chelsea) yang berasal dari Portugal, Manuel Pellegrini (Manchester City) dari Chile, Andre Villas Boas (Tottenham Hotspurs) dari Portugal, bahkan Brendan Rodgers (Liverpool) berasal dari Irlandia Utara. Saya sendiri lupa kapan terakhir waktu manajer asli Inggris berhasil menjuarai liga teratas di negara tersebut.

Beberapa waktu yang lalu, Mirror sempat memuat berita tentang Gary White, dia adalah salah satu dari 16 pelatih Inggris yang memiliki lisensi pelatih elit setelah berhasil melewati FA Elite Coach Programme (FA Level 5 Pro License) selama dua tahun dan dengan gelar tersebut White bisa saja mengklaim dirinya adalah pelatih muda dengan kualifikasi yang tinggi. Namun tahukah anda di mana White bekerja saat ini? Gary White yang memiliki impian untuk melatih salah satu tim di Premier League kini bekerja untuk Guam, sebuah pulau kecil di bagian barat Samudera Pasifik yang masih termasuk teritori Amerika Serikat. White bekerja sebagai pelatih kepala merangkap direktur teknik tim nasional Guam, negara yang lebih pas disebut pulau ini merupakan peringkat 177 FIFA , delapan peringkat di bawah Indonesia yang berada di peringkat 169.

Terlepas dari alasan apapun yang dimilikinya bukankah ironis jika seorang pelatih asli Inggris yang menyandang kategori elit FA justru terdampar di pulau kecil? Sungguh ironis bahwa seorang pelatih muda berlisensi FA Level 5 Pro License justru tidak terpakai di negerinya sendiri?

Ironis memang, di balik segala kepopuleran Premier League, para manajer berkebangsaan Inggris justru tidak dipercaya untuk memiliki panggung di tanahnya sendiri. Hal tersebut diikuti dengan terdepaknya beberapa pemain asli Inggris dari klub sebelumnya, sebut saja Scott Sinclair dan Gareth Barry yang terdepak dari Manchester City dan harus berakhir di West Bromwich Albion dan Everton, sedangkan Scott Parker juga tidak lebih baik, kiprahnya di Tottenham Hotspurs harus berakhir karena invasi pemain baru yang datang ke White Hart Lane, Parker akhirnya memutuskan bergabung ke Fulham.

Ekspansi para pemain dari luar Inggris mempersempit ruang gerak pemain asli Inggris, khususnya di klub besar. Kurangnya jam terbang dan minimnya kepercayaan yang diberikan pihak klub disinyalir sebagai alasan nomor satu seretnya prestasi tim nasional. Iklim kompetitif di liga ternyata tidak membawa dampak positif hingga ke level junior. Akibat hal tersebut tidak jarang terjadi perselisihan di antara para petinggi federasi dalam hal ini FA dan pihak operator Premier League, hampir di setiap kegagalan timnas Inggris FA selalu melimpahkan kesalahan ke pihak Premier League yang tentu saja melalui chief executive-nya, Richard Scudamore terus menolak untuk disalahkan. 

Terlepas dari perselisihannya dengan FA, usaha Richard Scudamore dan timnya yang berhasil membuat Premier League menjadi begitu populer dan menjadi salah satu destinasi hampir seluruh pesepakbola profesional patut diacungi jempol. Das Sein Das Sollen, sejatinya memang apa yang menjadi realita kadang tidak sesuai dengan apa yang didambakan, kompetitif dan populernya Premier League yang diharapkan bermuara pada peningkatan prestasi timnas ternyata belum mampu memberikan apa-apa seperti yang diharapkan.

Melihat persaingan Premier League yang kian terbuka, patut ditunggu hingga akhir musim nanti siapakah yang berhasil membawa timnya tampil sebagai juara. Apakah David Moyes mampu membalikkan prediksi atau kembalinya Jose Mourinho yang berbuah manis? Apakah Arsene Wenger berhasil menghentikan puasa gelar delapan tahun Arsenal atau justru Manuel Pellegrini yang berhasil memanfaatkan peluang dari cairnya konstelasi peluang juara Premier League musim ini? 

Walaupun nantinya gagal memberikan gelar bagi Manchester United, David Moyes sudah memiliki keberhasilannya sendiri, karena dirinyalah Premier League menjadi lebih menarik untuk ditonton karena kini tidak ada lagi kepastian yang dimiliki Manchester United seperti dulu ketika Sir Alex Ferguson masih di sana. Setidaknya Moyes belum mampu menjanjikan apa-apa di musim perdananya bersama Manchester United.


Post a Comment

0 Comments